Perceraian merupakan putusnya perkawinan antara suami istri dalam sebuah perkawinan. Akan tetapi retaknya perkawinan yang berujung perceraian sering kali mengakibatkan konflik perebutan hak asuh anak. Meskipun keputusan untuk hak asuh anak dapat disepakati oleh kedua pihak, namun apabila terjadi perselisihan akan diputus oleh Pengadilan sebagai pihak yang berwenang.
Pemberian Hak Asuh Anak
Pengajuan gugatan hak asuh anak dapat diajukan ke Pengadilan Agama bagi pihak yang beragama Islam, sedangkan bagi pihak yang beragama non Islam dapat mengajukan gugatan tersebut di Pengadilan Negeri. Pengajuan gugatan hak asuh tersebut dengan turut melampirkan Akta Cerai orangtua dan Akta Kelahiran sang anak.
Terkait dengan pemberian hak asuh anak, Pengadilan Agama pada umumnya memberikan hak asuh anak di bawah umur kepada ibu, hal tersebut mengacu kepada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatur bahwa anak yang belum berusia 12 (duabelas) tahun adalah hak ibunya. Namun apabila Majelis Hakim menilai bahwa ibu tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka hak asuh diberikan kepada ayah.
Menjadi berbeda dengan pihak yang beragama non Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), UUP tidak mengatur secara terperinci bahwa pemberian hak asuh anak dibawah umur diberikan kepada ibu. Pasal 41 UUP hanya mengatur apabila terdapat perselisihan mengenai hak asuh anak, para pihak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri. Maka kebijakan pemberian hak asuh tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim dengan mempertimbangkan bukti – bukti yang ada pada persidangan.
Namun perlu diingat bahwa pemberian hak asuh oleh Pengadilan kepada salah satu orang tua tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban kedua orangtua terhadap pememelihara anaknya. Selain itu meski telah bercerai, ayah tetap memiliki kewajiban untuk semua biaya pemeliharaan anak dan pendidikan yang diperlukan anak tersebut (Pasal 41 UUP).
Pihak lalai memenuhi putusan Pengadilan dalam Hak Asuh Anak
Lalu bagaimana jika mantan istri/suami tidak melaksanakan putusan yang ditetapkan Pengadilan? Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak lainnya dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan untuk memanggil dan memperingatkan mantan istri/suami yang lalai agar melaksanakan putusan tersebut.
Kemudian, jika salah satu orang tua yang diberikan hak asuh melalaikan kewajibannya untuk memelihara anak tersebut dengan sebaik-baiknya, sedangkan pihak lain yang tidak diberikan kuasa atas hak asuh anak juga melalaikan kepentingan anak maka dalam Pasal 49 UUP yang mengatur bahwa Pengadilan dapat mencabut kekuasaan tersebut, dan kemudian menunjuk wali sebagai pelaksana pemeliharaan anak tersebut. Artinya kekuasaan hak asuh anak tersebut dapat dicabut sewaktu – waktu apabila dapat dibuktikan bahwa ia melalaikan kewajibannya.
Selayaknya orang tua, wali juga memiliki kewajiban yang harus ia penuhi untuk menjamin kepentingan sang anak. Pasal 51 UUP mengatur kewajiban wali sebagai berikut:
Ayah Lalai Dalam Memberikan Nafkah Anak
Bagaimana jika mantan suami tidak memberi nafkah kepada anaknya setelah bercerai? Dalam putusan perceraian telah diatur kewajiban seorang ayah untuk memberikan nafkah anak, jika tidak dijalankan oleh mantan suami maka sang ibu dapat meminta pengadilan untuk melakukan eksekusi secara paksa terhadap mantan suami. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 196 dan 197 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) bahwa bilamana mantan suami tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas permintaan mantan istri, Pengadilan akan memanggil dan memperingatkan mantan suami atau ayah sang anak. Jika dalam waktu 8 (delapan) hari tetap tidak melaksanakan isi putusan, maka Ketua Pengadilan berhak memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri untuk menyita barang-barang milik mantan suami yang nantinya dipergunakan untuk membayar biaya kebutuhan dan pendidikan anak sesuai dengan jumlah telah yang tercantum dalam amar Putusan.
Jadi, perlu diingat meskipun terjadi perceraian antara orang tua, tidak akan mengurangi hak dan kewajiban terhadap anaknya. Pemberian hak asuh harus menjunjung tinggi kepentingan anak itu sendiri.